Debat dua pasang kandidat presiden dan wakil presiden seharusnya berhasil menghidupkan kembali diskursus politik dari apatisme yang melesukan semangat. Meski harapan ini tampaknya mulai menjadi kenyataan, tetapi kebangkitan diri dari apatisme dengan cepat berubah menuju agresivitas.
Sudah beberapa hari ini, baik di media sosial hingga obrolan warung diisi oleh sengketa atas tema-tema kontestasi presiden. Publik terbawa demikian jauh pada pusaran kemelut ini, tanpa persiapan kesadaran apakah debat antara mereka itu sungguh-sungguh ada hubungannya dengan masa depannya sendiri.
Perebatan dalam Pemilihan Presiden
Masuk akal ketika kita kini melihat bagaimana Komisi Pemilihan Umum dikepung oleh kritik yang tak lagi bisa dihitung, ihwal beberapa keputusannya tentang teknis debat capres-cawapres. Partai politik saling bertarung untuk memperjuangkan mekanisme dan prosedur mana yang paling menguntungkan calonnya: mulai dari penggunaan bahasa, suplai kisi-kisi pertanyaan, hingga kemungkinan untuk memodifikasi visi-misi menjelang debat. Bahkan mulai muncul kebutuhan slot dari para kontestan untuk menggelar latihan simulasi debat sebelum sungguh-sungguh berhadap-hadapan di panggung.
Peragaan Bahasa
Metafora relasi penonton-aktor adalah yang paling pas dalam menggambarkan hubungan publik dan elite hari ini. Penonton memiliki selera yang mesti dipenuhi; sementara aktor diwajibkan total berolah-gerak mimik muka agar semakin meyakinkan dan bertambah laku. Posisi penawaran dan permintaan ini sesungguhnya logika jual beli biasa, yang jika dilihat dengan hati-hati menimbulkan beberapa konsekuensi penting.
Pertama, politik memperluas dirinya bukan sekadar sebagai medan menguji gagasan, melainkan wilayah terbuka tempat gagasan diperagakan ke dalam bahasa. Itulah sebabnya, debat kandidat adalah pertaruhan serius karena di sana program dan gagasan akan dikonfirmasi oleh teknik berbahasa. Narasi dan tempo menjadi penting dikuasai bukan untuk menambah bobot dari gagasan yang hendak dibawa, melainkan untuk memesona publik dengan peragaan bahasa
Hasil Akhir dari Debat Pilpres
Pertunjukan debat pada akhirnya memukul mundur semangat yang bermaksud untuk menindaklanjuti uraian debat. Upaya semacam ini seringkali dianggap tak lagi perlu, apalagi jika yang didahulukan di sana adalah sebuah hasil matematis yang mengunci kita dengan kategori menang debat atau kalah debat. Ada kecenderungan untuk memercayai bahwa hasil dari suatu debat adalah hasil paling sahih untuk digunakan sebagai ukuran mutu dari kandidat.
Padahal, kendala utama dari anggapan semacam itu adalah bahwa pernyataan peserta debat tidak sungguh-sungguh dapat diuji. Ada keterbatasan prosedural, keharusan-keharusan protokoler, etika bahasa, dan lain sebagainya, yang sebetulnya secara langsung maupun tidak telah menghalangi proses verifikasi secara komprehensif. Dengan kata lain, debat bukanlah resep bagi pengukuran mutu kandidat.